Mary Wollstonecraft’s adalah tokoh wanita legendaris yang telah sekian lama memperjuangkan persamaan derajat para wanita. Ia adalah pejuang hak -hak wanita di abad ke-18. Abad di mana manusia seolah terbagi ke dalam dua wujud yang sama sekali berbeda derajat dan martabatnya.
Lahir di Inggris tahun 1759. Ia tumbuh dalam keluarga miskin dengan ayah seorang pecandu alkhohol yang berperilaku kasar. Awal kehidupannya diisi dengan upaya untuk mendapat kemandirian pribadi dan keuangan. Dengan belajar sendiri ia menulis buku pertamanya, Thoughts on the Education of Daughters. Tahun 1785 ia menjadi penulis wanita. Selama beberapa tahun berikutnya ia menerbitkan ulasan-ulasan, menerjemahkan karya-karya, dan menulis banyak buku. Ia mendapatkan citra buruk karena dukungannya pada prinsip-prinsip republikan dalam A Vindication of the Rights of Man (1790), yang merupakan salah satu dari sekian banyak tanggapan atas kritik Edmund Burke terhadap Revolusi Perancis. Oleh para sejarawan Mary wollstonecraft dianggap sebagai feminis modern pertama. Ia menghindari larangan tradisi yang mengikat wanita maka ia membuat nama untuk dirinya sendiri dan secara aktif mempertahankan ide-ide paling progresif pada saat itu. Karyanya yang paling terkenal, A Vindication of the Rights Woman. Karya tersebut didasarkan pada premis tentang kebebasan dan persamaan yang diterapkan pada pria dan wanita. Buku itu menyebabkan sensasi dan membuatnya menjadi salah seorang wanita paling terkenal dan kontoversial. Karya Mary Wollstonecraft yang lain adalah, Original Stories from Real Life (1791), A Vindication of the Rights of Man (1793). Surat-suratnya diterbitkan dalam Memoirs of the Author of the Rights Woman (1798). Wollstonecraft berpendapat bahwa pria dan wanita memiliki kemampuan yang sama dalam bernalar. Ia menentang segala bentuk kewenangan semena-mena dan penindasan, baik aristokratik maupun paternalistik. Bagi banyak pembaca, esensi argumennya adalah prinsip reformasi yang egaliter dan liberal. Prinsip ini hendaknya diterapkan untuk memperbaiki kondisi wanita. Meskipun ia percaya bahwa kekuatan pendidikan dapat menstransformasi sifat kehidupan wanita, tapi ia juga paham bahwa ada faktor lain yang membentuk takdir wanita. Ia juga bersikeras bahwa pemerintah wajib memberikan pendidikan bagi seluruh warga negara dan dengan akses yang sama menjamin wanita untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya. Karena menurutnya, jika seorang wanita tidak disiapkan dengan pengetahuan, wanita tersebut akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.
Pendapat Wollstonecraft tentang status wanita
Wollstonecraft bependapat bahwa pria dan wanita memiliki kemampuan yang sama dalam bernalar dan memperbaiki diri. Tapi kapasitas wanita terhadap tindakan relasional, dan keluhuran sejati, telah dikurangi oleh berbagai institusi sosial dan tuntutan budaya. Pembelaan Wollstonecraft adalah bahwa status legal dan sosialisasi mereka telah membatasi kemampuan yang dimiliki wanita untuk mengembangkan diri bagi pengabdian masyarakat. Namun, berdasar kesempatan yang diberikan dunia pendidikan, wanita bisa mengklaim tempat mereka sebagai anggota masyarakat yang bisa memberi kontribusi. Semakin baik pendidikan wanita, semakin baik wanita dalam menjadi warga negara, istri dan ibu. Dalam kalimat lain, wanita tedidik adalah orang-orang yang lebih rasional dan lebih luhur..
Wollstonecraft’s adalah orang yang mempelopori tentang pemikiran bahwa wanita dan pria seharusnya berada pada posisi yang sejajar sebagai manusia. Pemikirannya ini dituangkan dalam sebuah publikasi berjudul ‘A Vindication of the Rights of Woman‘ pada 1792. Publikasinya ini pula yang dianggap sebagai pemikiran atau filosofi feminism yang pertama kali muncul.
PELAJARAN YANG DIPEROLEH : Perempuan tidak hanya ditolerensi tetapi juga harus dihargai. Kini, wanita memiliki hak mencapai sukses yang setara dengan pria, bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya, menggeluti profesi yang diimpikan dan menciptakan kesuksesan. Emansipasi wanita membuat wanita berhak menjalani pilihan hidupnya, menjadikan wanita berani mewujudkan impian dan kesuksesan tanpa batas. -Rina Widiyanti-